BUDAYA TEKNOKRATIS DI INDONESIA SEKARANG
Oleh : Joko Riyanto
Semboyan mahasiwa
sebagai agen of change adalah
mahasiswa sebagai agen suatu perubahan kondisi bangsa saat ini jauh lebih
ideal. Karena banyak sekarali praktik-praktik kebijakan yang hanya memntingkan
suatu golongan organisasi, kelompok maupun partai politik tertentu.sedangkan mahaiswa sebagai agen of contol adalah mahasiswa sebagai pelaku masyarakat dan
mengontrol kondisi perkembangan masyarakat untuk menjadi lebih baik dari
sebelumnya. dalam problem ke-Indonesiaan sekarang ini dapat kita lihat yang
paling masif dari kebijakan pemerintah yang dapat merugikan masyarakat adalah
diterapkannya budaya teknokratis, atau lebih tepatnya kebijakan
teknokratis-isolatif (kompasiana.com, oleh Muhammad Fachri Ardiansyah).
Teknokratis-isolatif
menurutnya adalah suatu kepentingan gologan tertentu telah menguasai
posisi-posisi terpenting dalam kebijakan pembangunan aparatur maupun
infrastruktur negara yang tidak melihat bagaimnaa kondisi kultural dan sosial
kemasyarakatan di sekitarnya. Oleh karenanya akan menyebabkan terjadinya
isolasi masyarakat. Dicontohkannya seperti kasus kampung pulo mengenai
relokasi, sehingga anak-anak telah kehilangan tempat bermain mereka,
digantikannya dengan lapangan maya degung vertikal rumah susun yang dibangun
pemerintah. Ratusan ibu menganggur tak tahu mau bekerja apa semenjak “ladang”
mereka hilang digusur.
Sebelum lebih jauh
melihat praktek-praktek budaya teknokrasi di Indonesia alangkah lebih baik
melihat definisi dari teknokrasi secara terminologis. Teknokrasi adalah bentuk
pemerintahan ketika para pakar teknis menguasai pengambilan keputusan
(kebijakan) dalam bidangnya masing-masing
ininyur, ilmuwan, profesional kesehatan, dan orang-orang yang punya
pengetahuan, keahlian atau kemampuan akan membentuk badan pemerintahan. Dlam
teknokrasi, para pengambil keputusan akan dipilih berdasarkan sebebrapa jauh mereka
mengusasai bidang mereka (howard scoot, History
and Purpose Technology).
Budaya teknokasi ini
dalam perkembangannya berubah menjadi susunan pengambil keputusan (bidang
politik, ekonomi, sosial-budaya dan lainnya) yang kepemimpinannya berda
ditangan para ahli/teknokrat. Dengan kata lain, dalam pengabilan keputusannya
yang dipakai sebagai alat ukurannya adalah pertimbangan-pertimbangan teknis,
yakni hukum-hukum yang berlaku untuk alat, prosedur dan sistem teknis yang
keseluruhannya bukan untuk manusia. Dengan demikian keputusan politik atau
ekonomi yang telah diputuskan tidak didasarkan atas pertimbangan
politik-ekonomi yang sebenarnya, melainkan didasarkan atas pendekatan ilmiah
semata, dan pengetahuan teknis adalah kekuasaan khusus.
Melihat sejarah Indonesia
maka sejenak kita akan mengusap keringat yang berkucur-kucur diakibatkan oleh
pemerintahannya dari masa penjajahan, otoriter dan reformasi. Era sekarang
adalah era reformasi yang sepenuhnya kekbebasan dinaungi di dalam sistem
demokrasi pancasila. Yang mana masyarakat memiliki hak kebebsan dalam
beraspirasi kedalam pembangunan Indonesia dengan cara berpartisipasi politik
adalah inti dari demokrasi. (Saiful Mujani, dkk. Kuasa Rakyat: Analisis tentang perilaku memilih dalam Pemilihan
Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, 2011). Demokasi
pancasila memang secara ideal dapat menjadi ruang kebebasan rakayat untuk
beraspirasi dalam kesejahteraannya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak
yang bernuansa teknokratis.
Mengapa demikian?
Hontington dan Nelson dalam analisisnya mengedepankan model sistem populis agar
sebuah negara dapat mensejahterakan rakyatnya. Ya, memang Indonesia dalam
sistem demokrasi ini adalah mengedepankan model populis yaitu aspirasi suara
rakyat ternaungi melalui politi, yang sekarang dapat dikatakan dengan bentuk
partaui politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi mahasiswa, LSM dan lain
sebahainya. Akan tetapi kebanyakan realitasnya tidak sedikit banyak partai
politik, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa dan LSM lahir dari satu
tokoh besar yaitu model top down. Seperti
partai PAN yang lahir dari Amien Rais, Demokrat lahir dari Susilo Bambang
Yudoyono dan lainn-lain. sehingga tidak menutup kemungkinan kelompok-kelompok
tersebut memang bukan hasil dari spirasi rakyat, melainkan dari kepentingan
segelintir orang yang memiliki modal.
Atas dasar demikian,
maka banyak praktik-praktik penindasan terhadap masyarakat kecil, semisal
pmbangunan pabrik semen di Gendeng tanpa melihat sisi kultural masyarakat
setempat dan pembangunan Bandara Kulonprogo juga hanya dinikmati oleh kelompok
bermodal atau kaya. Sedangkan rakayat/masyarakat disektiranya diberi fasilitas
rumah susun dibandrol harga murah awalnya, namn penulis yakin lima tahun
kedepan pasti harga per kamarnya akan meningkat dan masyarakat yang tinggal di
dalamnya akan kualahan untuk membayarnya sehingga hidup dipinggir jalanan
adalah solusi terakhir.
Dari permasalahan di
atas maka penulis menawarkan agar model populis yang ditawarkan oleh Huntington
dan Nelson dapat terealisasi secara signifikan dan masif, maka seyogyanya
kelompok, partai politik dan organisasi kemasyarakatan memang muncul dan tumbuh
berkembang dari aspirasi rakyat yaitu model bottom
up dari banyak suara rakyat maka terbentuklah kelompok, bukan dari satu
orang saja. Bukan dari perseorangan yang memiliki modal. Karena bagaimanapun
jika golongan tertentu muncul dari perorangan maka praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam pembangnan di Indonesia atas kepentingan pemodal/kelompok
tersebut. Sedangkan rakyat hanya menjadi domba-domba gembala yang dipermainkan
pemerintahan ini. Dan sedikit aneh juga bahwa praktek aristokrasi di Indonesia
ini model praktiknya melalui mantra (istilah
caknun) yaitu perang kata-kata utnuk menghegemoni rakyat. Sperti NKRI harga
mati, toleransi, NKRI Syari’ah (FPI) dan Islam Liberal. Kesemuanya ini hanya
untuk mengagungkan status quo pemerintahan
melalui dogma agama. Semoga kita disadarkan.
Sumber gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOnKj47i3CdKOBTTWPwlSCQRMhy8_QzTfxYaErw7i_AsVn-b4Pgb7BJS7fXkHXm92vMDff50AEMo4lEIQJJRyM2es3ElfhpnPcGuWS5sW-RQQUfvpWVh-faFlbmfNFjFwyGlgUKQBICYj0/s1600/Tecnocracia.PNG
Komentar