BUDAYA TEKNOKRATIS DI INDONESIA SEKARANG


Oleh : Joko Riyanto

Membaca bagaimana kondisi Indonesia sekarang adalah sebuah keharusan penulis sebagai seorang mahasiswa yang seyogyanya tidak apatis dengan kondisi pemerintahannya. Mengingat bahwa peranan mahasiswa secara hirarkis dalam sejarah kemahasiswaan menempati posisi yang strategis. Yaitu posisi midle class (posisi tengah), sebagaimana yang diterangkan oleh the fauding father bangsa Indonesia Bung Hatta. Mahasiswa yang berperan aktif relasinya dalam kebijakan, aturan pemerintah dan implementasi untuk masyarakat kalangan bawah. Serta menjalin relasi ke bawah sebagai penerima aspirasi rakyat untuk disalurkan kepada pemerintahan. Begitulah idealnya mahasiswa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan mahasiswa era sekarang yang tidak sedikit banyak telah terpengaruh atas budaya konsumerisme, sehingganya banyak mahasiswa yang apatis terhadap suara-suara rakyat dan tidak peka terhadap kebijakan pemertintah yang secara sistematis telah menindas masyarakat kecil.

Semboyan mahasiwa sebagai agen of change adalah mahasiswa sebagai agen suatu perubahan kondisi bangsa saat ini jauh lebih ideal. Karena banyak sekarali praktik-praktik kebijakan yang hanya memntingkan suatu golongan organisasi, kelompok maupun partai politik tertentu.sedangkan mahaiswa sebagai agen of contol adalah mahasiswa sebagai pelaku masyarakat dan mengontrol kondisi perkembangan masyarakat untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. dalam problem ke-Indonesiaan sekarang ini dapat kita lihat yang paling masif dari kebijakan pemerintah yang dapat merugikan masyarakat adalah diterapkannya budaya teknokratis, atau lebih tepatnya kebijakan teknokratis-isolatif (kompasiana.com, oleh Muhammad Fachri Ardiansyah).

Teknokratis-isolatif menurutnya adalah suatu kepentingan gologan tertentu telah menguasai posisi-posisi terpenting dalam kebijakan pembangunan aparatur maupun infrastruktur negara yang tidak melihat bagaimnaa kondisi kultural dan sosial kemasyarakatan di sekitarnya. Oleh karenanya akan menyebabkan terjadinya isolasi masyarakat. Dicontohkannya seperti kasus kampung pulo mengenai relokasi, sehingga anak-anak telah kehilangan tempat bermain mereka, digantikannya dengan lapangan maya degung vertikal rumah susun yang dibangun pemerintah. Ratusan ibu menganggur tak tahu mau bekerja apa semenjak “ladang” mereka hilang digusur.

Sebelum lebih jauh melihat praktek-praktek budaya teknokrasi di Indonesia alangkah lebih baik melihat definisi dari teknokrasi secara terminologis. Teknokrasi adalah bentuk pemerintahan ketika para pakar teknis menguasai pengambilan keputusan (kebijakan) dalam bidangnya masing-masing  ininyur, ilmuwan, profesional kesehatan, dan orang-orang yang punya pengetahuan, keahlian atau kemampuan akan membentuk badan pemerintahan. Dlam teknokrasi, para pengambil keputusan akan dipilih berdasarkan sebebrapa jauh mereka mengusasai bidang mereka (howard scoot, History and Purpose Technology).

Budaya teknokasi ini dalam perkembangannya berubah menjadi susunan pengambil keputusan (bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan lainnya) yang kepemimpinannya berda ditangan para ahli/teknokrat. Dengan kata lain, dalam pengabilan keputusannya yang dipakai sebagai alat ukurannya adalah pertimbangan-pertimbangan teknis, yakni hukum-hukum yang berlaku untuk alat, prosedur dan sistem teknis yang keseluruhannya bukan untuk manusia. Dengan demikian keputusan politik atau ekonomi yang telah diputuskan tidak didasarkan atas pertimbangan politik-ekonomi yang sebenarnya, melainkan didasarkan atas pendekatan ilmiah semata, dan pengetahuan teknis adalah kekuasaan khusus.

Melihat sejarah Indonesia maka sejenak kita akan mengusap keringat yang berkucur-kucur diakibatkan oleh pemerintahannya dari masa penjajahan, otoriter dan reformasi. Era sekarang adalah era reformasi yang sepenuhnya kekbebasan dinaungi di dalam sistem demokrasi pancasila. Yang mana masyarakat memiliki hak kebebsan dalam beraspirasi kedalam pembangunan Indonesia dengan cara berpartisipasi politik adalah inti dari demokrasi. (Saiful Mujani, dkk. Kuasa Rakyat: Analisis tentang perilaku memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, 2011). Demokasi pancasila memang secara ideal dapat menjadi ruang kebebasan rakayat untuk beraspirasi dalam kesejahteraannya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak yang bernuansa teknokratis.

Mengapa demikian? Hontington dan Nelson dalam analisisnya mengedepankan model sistem populis agar sebuah negara dapat mensejahterakan rakyatnya. Ya, memang Indonesia dalam sistem demokrasi ini adalah mengedepankan model populis yaitu aspirasi suara rakyat ternaungi melalui politi, yang sekarang dapat dikatakan dengan bentuk partaui politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi mahasiswa, LSM dan lain sebahainya. Akan tetapi kebanyakan realitasnya tidak sedikit banyak partai politik, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa dan LSM lahir dari satu tokoh besar yaitu model top down. Seperti partai PAN yang lahir dari Amien Rais, Demokrat lahir dari Susilo Bambang Yudoyono dan lainn-lain. sehingga tidak menutup kemungkinan kelompok-kelompok tersebut memang bukan hasil dari spirasi rakyat, melainkan dari kepentingan segelintir orang yang memiliki modal.

Atas dasar demikian, maka banyak praktik-praktik penindasan terhadap masyarakat kecil, semisal pmbangunan pabrik semen di Gendeng tanpa melihat sisi kultural masyarakat setempat dan pembangunan Bandara Kulonprogo juga hanya dinikmati oleh kelompok bermodal atau kaya. Sedangkan rakayat/masyarakat disektiranya diberi fasilitas rumah susun dibandrol harga murah awalnya, namn penulis yakin lima tahun kedepan pasti harga per kamarnya akan meningkat dan masyarakat yang tinggal di dalamnya akan kualahan untuk membayarnya sehingga hidup dipinggir jalanan adalah solusi terakhir.

Dari permasalahan di atas maka penulis menawarkan agar model populis yang ditawarkan oleh Huntington dan Nelson dapat terealisasi secara signifikan dan masif, maka seyogyanya kelompok, partai politik dan organisasi kemasyarakatan memang muncul dan tumbuh berkembang dari aspirasi rakyat yaitu model bottom up dari banyak suara rakyat maka terbentuklah kelompok, bukan dari satu orang saja. Bukan dari perseorangan yang memiliki modal. Karena bagaimanapun jika golongan tertentu muncul dari perorangan maka praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pembangnan di Indonesia atas kepentingan pemodal/kelompok tersebut. Sedangkan rakyat hanya menjadi domba-domba gembala yang dipermainkan pemerintahan ini. Dan sedikit aneh juga bahwa praktek aristokrasi di Indonesia ini model praktiknya melalui mantra (istilah caknun) yaitu perang kata-kata utnuk menghegemoni rakyat. Sperti NKRI harga mati, toleransi, NKRI Syari’ah (FPI) dan Islam Liberal. Kesemuanya ini hanya untuk mengagungkan status quo pemerintahan melalui dogma agama. Semoga kita disadarkan.




Sumber gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOnKj47i3CdKOBTTWPwlSCQRMhy8_QzTfxYaErw7i_AsVn-b4Pgb7BJS7fXkHXm92vMDff50AEMo4lEIQJJRyM2es3ElfhpnPcGuWS5sW-RQQUfvpWVh-faFlbmfNFjFwyGlgUKQBICYj0/s1600/Tecnocracia.PNG

Komentar