SEKTE-SEKTE KHAWARIJ


Al-Muhakkimah
       Al-Muhakkimah adalah golongan kawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut ‘Ali. Bagi mereka, ‘Ali, Mu’awwiyah, ke dua pengantara ‘Amr Ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy;ari dan semua orang yang menyutujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
Klarifikasi dosa besar dan menjadi kafir serta keluar dari agama menurut golongan ini adalah:
1.      Zinah
2.      Membunuh sesama manusia

Al-Azariqah
       Barisan yang baru ketika golongan Al-Muhakkimah hancur adalah golongan Al-Azariqah. Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn al-Azraq. daerah kekuasaan golongan ini yaitu terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Pengikut-pengikutnya menurut al-baghdadi berjumlah lebih dari 20.000 orang.[1] Dengan pemimpin Nafi’ sendiri dan dia diberi gelar Amirul al-Mu’minin. Dan beliau wafat di Irak tahun 686.
       Golongan ini lebih radikal dari Al-muhakkimah, golongan ini tak lagi memakai term kafir tetapi memakai term musyik atau polyteist[2]. Dan di dalam Islam sendiri polyteisme adalah dosa terbesar, lebih besar dari pada kufr. Bagi golongan Al- azariqah yang di pandang musyik ialah:
1.      Semua orang Islam yang tak sefaham dengan mereka.[3]
2.      bahkan yang sefaham dengan mereka namun tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga di pandang musyrik.[4]
3.      Orang al-Azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkunga mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka.
       Dan barang siapa yang datang ke daerah mereka dan mengaku pengikut al-Zariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus di uji. Kepadanya diserahkan seorang tawan, kalau tawanan ini ia bunuh maka diterima, akan tetapi jika tawanan ini tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.[5] sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawannan itu memberi keyakinan kepada mereka bahwa ia berdusta dan bukan peganut al-zariqah. Menurut sekte yang radikal dan ekstrim ini hanyalah mereka sebenernya orang Islam. Di luar itu wajib di perangi. Bahkan keluarga dan anak-anak.
Al-Najdah
       Najdah Ibn ‘Amr al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin enggabungkan diri dengan golongan al-Zariqah. Tetapi dalam golongan tersebut pada akhirnya timbul perpecahan. Sebagian pengikut-pengikut Nafi’ Ibn al-Azrq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, ‘Atiah al-Hanafi, tidak sefaham dengan bahwa Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah Musyik. Demikian pula mereka tidak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tak sefaham dengannya.
       Abu Fudaik dengan teman-teman serta pengikut-pengikutnya memisahkan diri dari Nafi’ dan pergi ke Yamamah. Di sini mereka dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam pertikaian faham dengan Nafi’, sehingga Najdah dan pengikutnya membatalkan untuk berhijrah ke daerah kekuasaan al-Zariqah. Sehingga pengikut Abu Fudaik dan Pengikut Najdah bersatu dan memilih Najdah sebagai imam. Nafi mereka pandang kafir dan demikian orang yang mengikutinya sebagai imam.[6]
       Pendapat bahwa orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal didalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sefaham dengan golonannya. Dalam hal ini Najdah berbeda dengan kedua golongan di atas, mereka berpendapat bahwa:
1.      Jika mengerjakan dosa besar betul akan mendapatkan siksaan, akan tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.
2.      Dosa kecil akan menjadi dosa besar, jika dilakuakn terus-menerus, dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musrik.
3.      Setiap muslim wajib mengetahui Allah dan Rasul-rasulNya.
4.      Mengetahui haram hukumnya membunuh orang Islam.
5.      Percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada RasulNya.
       Dalam kaitannya beberapa hal yang harus di ketahui oleh golongan-golongan Al-Najdah di atas mereka tidak di wajibkan kecuali dari pada itu. Dengan kata lain kalau mereka mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidak tahu bahwa hak itu haram, ia dapat di maafkan.[7]
       Dalam lapangan polotik Najdah berpendapat bahwa adanya Imam perlu, hanya jika maslahat menghendaki yang demikian. Manusia pada hakikatnya tidak berhajat pada adanya Imam untuk memimpin mereka. Dalam hal ini mereka sebenarya identik dengan ajaran komunisme yang mengatakan bahwa negara akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis.
       Dalam kalangan kawarij, golongan inilah yang pertama kali membawa faham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidakmenyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang. Taqiah menurut pendapat mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan.[8] Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam, tapi pada hakikatnya ia penganut agama Islam.
       Tetapi tidak semua pengikut Najdah setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran di atas, terutama faham bahwa dosa besar tidak membuat pengikutnya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar.[9] Perpecahan di kalangan mereka kelihatannya ditimbulkan oleh pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil Najdah berharap khalifah ‘Abd al-Malik Ibn Marwan dari dinasti Bani Umayyah. Dalam salah satu serangan yang dipimpin oleh anak Najdah sendiri, mereka memperoleh harta dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan se perlima dari padanya, sebagian diwajibkan dalam syari’at dan sebelum mereka kembali kepangkalan, harta dan tawanan itu telah dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut di antara mereka sendiri.
       Selanjutnya dalam serangan kota Madinah mereka dapat menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh ‘Abd al-Malik. Permintaan ini di kabulkan oleh Najdah, hal mana tak dapat disetujui pengikutnya, karena ‘Abd al-Malik adalah musuh mereka.[10] Dalam perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan ‘Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. ‘Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan di penggal kepalanya.

Al-‘Ajaridah
       Mereka adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad yang menurut al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi. Kaum ini bersifat lebih lunak karena menurut faham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagaimana diajarkan oleh Nafi’ dan Najdah, tapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum ‘Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Di samping itu harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati terbunuh. Sedangkan menurut al-Zariqah seluruh harta musuh boleh dijadikan rampasan perang. Dan seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, dan tidak musyik menurut orang tuanya.
       Selanjutnya kaum ‘Ajaridah mempunyai faham puritanisme. Surat yusuf dalam Al-Qur’an membawa ceritera cinta. Sebagai kitab suci, mereka berpendapat tidak mungkin dalam Al-Qur’an mengandung ceritera cinta, oleh karena itu mereka tidak mengakui Surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur’an.
       Seperti halnya golongan kawarij lain, ‘Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil. Diantara mereka yaitu, golongan al-Maimuniah, menganut faham qodariah. Bagi mereka semua perbuatan manusia, baik dan buruk, timbul dari kemauan manusia dan kekuasaan manusia sendiri.[11] golongan al-Hamziah juag mempunyai faham yang sama. Tetapi golongan al-Syu’aibiah dan al-Hamzimiah menganut faham sebaliknya. Bagi mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak dapat menentang kehendak Allah SWT.[12]

Al-Sufriah
       Pemimpin golongan ini adalah Ziad Ibn al-Asfar. Golongan ini identik dengan al-Zariqah, oleh karena itu mereka di sebut golongan yang ekstrim. Akan tetapi golongan ini tak se ekstrim golongan yang lain karena pendapatnya diantaranya ialah:
a.       Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrikin boleh dibunuh.[13]
c.       Tidak semua manusia yang berbuat dosa besar menjadi musyik . ada di antara mereka membagi dosa besar menjadi dua golongan, dosa besar yang sangsinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak dipandang kafir. Yang menjadi kafir hanyalah orang yang melkukan dosa besar golongan ke dua.
d.      Daerah golongan Islam yang tak sefaham dengan mereka buka dar harb yaitu daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah sedanganak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.[14]
e.       Kufr dibagi menjadi dua : kufr bi inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr bi inkar al-rububiah  yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.
       Di samping pendapat-pendapat di atas terdapat-pendapat yang sepesifik bagi mereka:
a.       Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.      Tetapi sungguhpun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.[15]

Al-Ibadiah
       Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan kawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah Bin Ibad, pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Zariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajarnnya sebagai berikut:
a.       Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyik, tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka adalah haram.
b.      Daerah orang Islam yang tak sefaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan dar tawhid, daerah orang yang meng Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperani, hanyalah ma;askar pemerintah.[16]
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid, yang meng Esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan kalaupun kafir merupakan kafir al-ni mah dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama.[17]
Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari agama.
d.      Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada orang empunya.[18]


[1] Al-Farq, 85
[2] Ibid. 83
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 89 dan al-milat, I/124
[7] Al-Milat, I/123 dan Maqalat, I/163.
[8] Al-Milal, I/124.
[9] Al-Farq. 89.
[10] Ibib. 88.
[11] Al-Milal. I/128
[12] Al-Farq. 94.
[13] Ibid. 137.
[14] A-Mazahib. 125.
[15] Al-Milal. I/137.
[16] Maqalat. I/171.
[17] Al-Milal. I/134.
[18] Al-Farq. 103.

Komentar