“janji tak sesuai bukti”

oleh : Joko Riyanto

        Ayam yang berbulu cantik dan bercengger nan indah itu mengepakkan sayapnya, berkokok ke rumah kedua pujanggaa Rohman (Aku) dan Rohim serta adiknya si zainab. Suara merdu yang keluar dari ayam itu bak praha cinta yang perlahan-lahan membangunkan kami. Di kala kami berjalan meliuk-liukkan terlihat indahnya sun rise di hadapanku dan Rohim hingga terpana dan mematung. Terlintas dalam pikiran kami, “aduhai indahnya ciptaan Tuhan”, sinar mentari yang menjari-jari ke penjuru jagat raya ini.
       Seperti hari-hari biasanya. Aku berjalan menuju kotak surat untuk melihat kiriman-kiran surat dari pimpinan sebuah Organization Political bernama Ahmad Husein. Di lain profesi adikku Rohim membersihkan halaman gubuk reyot yang kami tempati. Sedangkan adikku yang cantik merona, matanya terbinar-binar, dan  setiap helaian rambutnya adalah makhkota. Dia setiap pagi di dapur untuk menyelesaikan pekerjaan seorang ibu.
       Aku, Rohim, dan Zainab adalah yatim piatu, Ayah kami wafat kepalanya di pagas Sedangkan Ibuku di pasung dan di bakar di atas bara api hingga ibuku meronta-ronta di atas salib waktu aku berumur 2 Tahun dan Rohim 1 tahun lebih muda dariku begitu juga Zainab adik laksana putri raja. Semua ini adalah perbuatan Kelompotan Devil. Karena tak mau menyerahkan hartanya dia. Kekerasan ini takkan pernah aku lupakan, aku bergeming aku terhipnotis oleh perbuatan biadan sang raja Devil di kala itu. Akan tetapi hari berganti hari hingga 15 Tahun lamanya terhanyut sudah goresan-goresan kalbu kami.
       Perlahan-lahan aku buka kotak surat itu, namun Rohman mencoba mengejekku dengan pertanyaannya yang konyol-konyol serta menggelakkan.
       “Kak Rohman coba tebak, mengapa di Negara ini banyak korupsi?”.
Sepintas aku menjawab saja, “karena namanya tidak ada kata Jaya, coba aja di sertakan kata Jaya, pasti korupsi bakalan hilang bak penyihir menghilangkan para tikus.”
       Rohim tertawa terpingkal-pingkal atas jawabanku. Kepalakupun terpenuhi tanda “?” mengelilingi kepalaku.  Inginku rasanya memukul adikku, namun terlintas ini hanyalah humor (just guyon/just kidding). Tak berhenti tertawa ia pun menjawab.
       “kakak salah, yang benar karena sapunya penyihir kotor”. Hahahahaha.
Akunpun geram, si jago merah merasuk kedalam kepalaku. “Diiiaaam tak lucu Rohim”.
       Akupun meneruskan niatku untuk membuka kotak surat dari pimpinan Organization Political. “segera hadiri kampanye dan pembagian sedekah setiap bulannya” kalimat ini termaktub di dalam sepucuk surat dari calon sang pemimpin. Aku terhipnotis dengan tawaran itu, tanpa basa-basi aku berlari menyusuri semak-semak belukar serta mendayuh kapal untuk menyebrangi sungai yang di dalamnya terdapat para buaya yang siap menelanku hidup-hidup jika aku terperosok ke sungai. Alangkah malangnya nasib kami yang hidup di desa terpencil. Tapi itu semua bukanlah masalah bagi kami para pujangga dan seorang putri yang mempesona bagi para perjaka di Desa Varia Agung.
       Sebagai orang yatim piatu aku pun berapi-api untuk mendatangi tempat perkumpulan itu, walaupun hanya sebagai pendengar setia. Hal yang terpenting adalah aku dan dua saudaraku bisa makan. Seorang jurdil dari kelompok tersebut memberikan informasi tentang visi dan misi dari Organization Political Sunggguh menggiurkan. Aku dan para sahabat-sahabat yang menghadiri perkumpulan itupun tanpa pikir panjang sebagian meng “iya” kan tawaran itu. Jika di ibaratkan sseperti Tuhan yang menawarkan bagi hambanya untuk memasuki surga.
       “aaahhhh... inikah pemimpin yang di harapkan mayarakat”.
Seorang pengembala kambing dari kampung kami sepintas berkata, “ini baru pemimpin bagi bangsa, bangsa yang terbata-bata dan reyot”.
       “aalaaaahhh... pasti ujung-ujungnya itu yang di cari. Sekarang itu uang bukan no. 1 tapi uang ada di semua no”. Sahut pemuda yang suka merangkai kata-katanya dalam bentuk puisi berjudul “Hama Tikus”.
Bagaimana tidak menggiurkan, kami di tawari untuk menjual sebagian perkebunan milik para warga. Mereka akan membangun sebuah pabrik “boden” Itu ada    bahasa kami, jikalau bahasa Nasionalnya adalah “singkong”. Dan setiap tahunnya dari Organization Political itu akan bersedekah Rp 50.000.000,- Karena Negara kami adalah negara demokratis, maka kami akan bermusyawarah untuk menghasilkan keputusan tawaran dari calon sang pemimpin itu. Akhirnya, desa kamis setuju dan kami di berikan uang sebesar Rp 50.000,-/Orang.
       Bumi berotasi dan berevolusi, waktupun berjalan hingga setahun sudah lamanya. Selama setahun kami membantu pendirian pabrik singkong hingga berdiri tegak laksana istana pada mitos-mitos yang menghegemoni.
       Pagi-pagi buta sang mentari tak menampakkan mukanya, tercium bau menyengat dari sebuah sungai di desa Varia Agung. Tak ku sangka itu adalah limbah dari pabrik. Bisa di sebut onggok yang berbata-bata di sungai. Desa kami pun tak harum semerbak bak kasturi. Makhluk-makhluk yang bersemayam pada sungai-sungai telah tiada.
       lihatlah para penguasa, alam telah kau rampas
       mana janji yang pernah kau pekikkan pada kami
       suara-suara rakyatpun tak di dengar
       gelak di atas jeritan rakyat jelata
       kami tertindas
       biarkan Tuhan yang membalas
jerit lirih yang tertulis pada buku sang pemuda tadi tak di dengar oleh pimpinan pabrik singkong tersebut. Demontrasi benang merah kami, akan tetapi keaman membela mereka. Padahal tak tahu kain apa yang membalut pada pimpinan pabrik singkong itu, mereka hanya mendengarkan seruan sang pemuja harta. Alahkah malang nasib kami, inikah balasan atas janji-janji yang menghipnotis kami. Help But Strike”
.

Komentar