TEORI-TEORI KEBENARAN

oleh : Joko Riyanto



A.     Latar Belakang

Manusia adalah jenis makhluk yang memiliki potensi luar biasa dari bekal akal yang ada padanya. Dengan akal manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara dinamis, terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukkan perubahan positif (perkembangan cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berpikir akan semakin kompleks ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah pohon, tentu tidak sama dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah yang disebut pengetahuan, subyek obyek bertemu dan terjadi interaksi subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Dalam kesatuan  itu, obyek berada dalam rohani subyek sebagai dikenal. [1]
Dan apakah pengethuan itu benar atau tidak inilah permasalahanya, potensi akal manusia yang secara kontinu berpikir terus menerus untuk mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa mereka terima secara logis dan empiris atau kebenaran ilmiah. Maka perlu kita menyimak sejarah perkembangan manusia dalam mencari kebenaran yang akan kami bahas dalam makalah ini.
Makalah ini membicarakan tentang teori-teori kebenaran. Akan dijelaskan tentang definisi kebenaran, teori-teori kebenaran dalam bidang pengetahuan ilmiah yang terjadi sepanjang sejarah pemikiran manusia

B.     Pembahasan

1.      Definisi kebenaran

        Beragam pengertian mempergunakan lambang yang sama. Apa itu arti kebenaran dalam ungkapan pengetahuan yang benar ? kebenrana adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang jadi obyeknya, yaitu apabila terdapat persesuaian dalam hubungan antara obyek dan pengetahuan tentang obyek itu.[2] Dengan demikian masalah pengetahuan adalah masalah hubungan antara ide-ide kita dengan dunia realitas. Hal itu membawa kepada perdebatan antara kaum empirisme dan idealisme.
          Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran, karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff (1996 : 178) mengatakan “kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan (proposisi) sunggung-sungguh merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut penjelasan Hamami tentang kaitan kebenaran dengan beberapa hal di atas.
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kebenaran itu dipengaruhi oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau common sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan menghasilkan kebenaran yang bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang sudah memiliki objek yang khas atau spesifik dengan pendekatan metodologis yang khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang ada. Maka kebenaran dalam konteks ini bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau perubahan jika ditemukan kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan mendapat persetujuan (agreement) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran sama.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama, yang memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai ajaran agama tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya. Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode apa yang digunakan subjek dalam membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangun pengetahuannya dengan penginderaan atau sense experience, akal pikir, ratio, intuisi, atau keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi karakteristik kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara yang sama. Misalnya, jika subjek memperoleh kebenaran melalui sense experiense, maka harus dibuktikan juga dengan sense experience, bukan dengan cara yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.

Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya kebenaran ini berkaitan dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu akan bersifat subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat bergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika objek lebih berperan maka sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
Sebagai pelengkap bahasan ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian (1966 : 23) adalah sebagai berikut :
1.       Kebanaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut)
2.       Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi
3.       Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau

Penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian merupakan polemik yang belum terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahuan terus berkembang dan mempengaruhi sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau jangan-jangan kebenaran itu hanyalah subjektivitas seseorang atau kelompok? Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang sulit dan mustahil untuk di jangkau.

C.     Teori-Teori Kebenaran

1.      Teori kebenaran koherensi (Coherensi Theory of Truth) menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan) diakui benar jika proposisi itu memiliki hubungan gagasan-gagasan dari proposi-proposi sebelumnya yang juga benar dan dapat dibuktika secara logis sesuai ketentuan-ketentuan logika.
Contoh :
Semua manusia membutuhkan air
Rudi adalah seorang manusia
Jadi, Rudi membutuhkan air.

2.       Teori kebenaran Korespondensi/Saling bersesuaian (Correspondence Theory Of Truth) Mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila proposi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahuan itu.theory ini berhubungan erat dengan kebenaran dan kepastian, sehingga dengan demikian kebenaran pengetahuan itu dapat dibuktikan secara langsung.
Contoh-contoh:
Semua besi bila dipanaskan akan memuai.
Jakarta adalah ibukota negara RI
Pancasila adalah dasar negara RI
Orang Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa
Sebagian besar mahasiswa FIP adalah perempuan.

3.       Teori kebenran Pragmatis (pragmatical Theory Of Truth) menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jikalau proposinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Teori ini telah dikenal secara tradisional.
Contoh:
}  Pernyataan “Semua besi bila dipanaskan akan memuai” mempunyai kebenaran pragmatis bagi tukang pandai besi atau pabrik untuk mengolah besi sehingga menjadi alat-alat yang bermanfaat bagi manusia.
}  Misalnya, ada peristiwa kebakaran. Pernyataan tentang apa sebab kebakaran tidak  bermanfaat, maka tidak benar. Hal yang benar adalah tindakan cepat untuk memadamkan api seperti mencari ember dan air, menelepon pemadam kebakaran, dsb.

4.      Teori Kebenaran Logika yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory Of Truth) hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang memiliki term berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu dibuktikan lagi, atau ia telah menjadi suatu bentuk logik yang berlebih-lebihan. Contohnya : Siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah dan sebagainya. Dengan demikian, proposisi lingkaran itu bulat tak perlu dibuktikan lagi kebenarannya[3].

5.      Teori kebenaran consensusSuatu pernyataan dikatakan benar apabila dihasilkan dari suatu konsensus bersama (kesepakatan). Untuk mencapai konsensus, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Menurut Jurgen Habermas, konsensus harus memenuhi syarat:
Keterpahaman à hal yang dibicarakan dapat dipahami
diskursus/wacana, à ada dialog antar ide
ketulusan/kejujuran à semua kepentingan/interest dikemukakan sehingga ada keterbukaan
Otoritasà orang yang terlibat dalam konsensus memang memiliki kewenangan untuk itu sehingga keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.

Contoh :
}  Kesepakatan para bapak pendiri negara tentang dasar negara Pancasila
}  Konsensus anggota   MPR untuk mengubah/mengamandemen UUD 1945 sebagai salah satu wujud dari agenda reformasi hukum
}  Kesepakatan komunitas ilmiah (ilmuwan) dalam menetapkan paradigma dan metode ilmiah bidang ilmu masing-masing.




[1]  Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. 2, hlm. 30.
[2]  Ibid. Hlm. 31
[3]   Jan Hendrik Rapar,Pengantar Filsafat,(Yogyakarta,KANISIUS,1996),hlm 42-43. 

Komentar