TAHAFUT AL-FALASIFAH
KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP PARA
FILUSUF DALAM MENETAPKAN DALIL BAHWA MUSTAHIL ADANYA DUA TUHAN
Sebelum
kita melihat bagaimana kritikan Al-Ghazali mengenai ketidak mampuan para
filusuf membuktikan bahwa Tuhan itu satu, maka kita harus melihat bagai mana
dalil yang pembuktian para filusuf mengenai hal tersebut. Ada dua metode
pembuktian yang mereka[1]
luncurkan :
1.
Mereka mengatakan bahwa apabila ada dua Tuhan, maka
masing-masing wajib al-wujud adalah
dinisbatkan pada salah satunya. Sesuatu yang disebut wajib al-wujud tidak lepas dari dua hal, yaitu (a) eksistensinya
niscaya karena esensinya sensiri (wujub
wujudihi lidzatih); atau (b) eksistensinya niscaya karena suatu sebab (‘illat), sehingga esensi wajib al-wujud tersebut merupakan akibat
(ma’lul), dan ‘illat-nya menuntut keniscayaan eksistensinya. Tetapi wajib al-wujud yang kami maksudkan di
sini hanyalah sesuatu yang eksistensinya tidak berkaitan dengan suatu sebab
dari aspek mana pun.
2.
Mereka
mengatakan bahwa apabila kita asumsikan ada dua wajib al-wujud, maka keduanya sama dalam semua aspek, atauu bahkan
berbeda. Apabila keduanya sama dalam segala aspek maka tidak dipahami adanya keterbilangan dan dualitas. Dapat
dianalogikan seperti warna hitam, yaitu apabila ada dua hitam jika di dua
tempat, atau di satu tempat tetapi pada dua waktu yang berbeda, atau hitam dan
gerakan di satu tempat pada satu waktu, maka boleh juga dikatakan kedua
esensinya itu adalah dua karena esensinya berbeda. Adapun apabila kedua esensi
itu tidak berbeda, seperti dua hitam, lalu tempat dan waktunya sama, maka tidak
dipahami adanya keterbilangan. Sekiranya boleh dikatakan bahwa ada dua
individu, tetapi tidak jelas perbedaan di antara keduanya. Ketika kesamaan itu
mustahil dari sisi mana pun, mesti ada perbedaan, dan tidak berkaitan dengan
waktu dan tempat, maka yang ada hanyalah perbedaan pada esensi tersebut.
Apabila ada dua wajib al-wujud itu berbeda dari sesuatu,
maka ia tidak bisa lepas dari dua hal kemungkinan yaitu, pertama kedua-duanya bersekutu pada sesuatu, atau yang kedua
tidak bersekutu pada sesuatu. Jika keduanya bersekutu pada sesuatu, maka
itu mustahil, karena mesti tidak bersekutu dalam eksistensi, dalam keniscayaan
ada dan dalam keberadaan masing-masing sebagai yang berdiri sendiri.
Apabila keduanya
bersekutu dalam sesuatu dan berbeda maka dalam sesuatu yang di dalamnya ada
perbedaan, maka akan ada ketersusunan dan keterpisahan. Padahal dalm wajib al-wujud tidak ada ketersusunan.
Sebagaimana Ia tidak terbagi dalam kuantitas, maka Ia juga tidak terbagi dalam
pernyataan yang jelas, karena esensinya tidak tersusun dari unsur-unsur. Karena
apabila kita pahami pernyataan jelas menunjukkan keterbilangan sebagaiman hayawan dan nathiq yang menopang kuiditas insan
(manusia), kata insan bukan
ditunjukkan pada kata nathiq. Maka insan tersusun dari bagian-bagian, yang
tersusun dari definisi tersebut dengan kata-kata, yang menunjukkan
bagian-bagian tersebut. Dan kata insan merupakan
kumpulan dari bagian-bagian tersebut. Hal seperti ini tidak bisa dikonsepsikan
pada wajib al-wujud, selain juga
tidak bisa dikonsepsikan adanya dualitas.
Kritik Al-Ghazali :
1.
Apabila pernyataan
anda keniscayaan ada bagi wajib al-wujud karena
esensinya atau karena suatu sebab, ini merupakan klasifikasi keliru. Karena kami
menjelaskan bahwa frase “keniscayaan
ada” (wajib al-wujud) mengandung
pengertian umum, tetapi yang dimaksud adalah penegasian sebab. maka kami
menggunakan istilah ini, sehingga kami katakan bahwa mengapa dinilai mustahil
keberadaan dua maujud yang tak bersebab dan salah satunya bukan sebab bagi yang
lain? Pernyataan anda, bahwa sesuatu yang tidak memiliki sebab bisa berarti
tidak bersebab dengan sendirinya atau karena suatu sebab, merupakan pembagian
yang keliru, karena penegasian sebab, dan ketidak butuhan suatu eksistensi
terhadap sebab tidak memerlukan sebab. Apa maksud pernyataan “sesuatu yang
tidak bersebab adalah tidak bersebab”, bisa dengan sendirinya ataupun karena
suatu sebab? Karena kami katakan bahwa “tidak bersebab” merupakan negasi murni.
Negasi murni tidak memiliki baik ‘illat maupun
sebab. Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa ia ada dengan sendirinya atau
bukan yang konyol atau tak bersandar.
2.
Dapat diterima
bahwa tidak bisa dikonsepsikan adanya dualitas, kecuali dengan adanya perbedaan
dalam sesuatu. Dua hal yang sama dalam segala segi tidak bisa dikonsepsikan
perbedaan keduanya. Tetapi pernyataan anda: “jenis ketersusunan ini mustahil
ada pada sumber pertama” merupakan kesewenang-wenangan murni. Apa
argumentasinya?
di dalam buku Tahafut
al-Falasifah tersebut Al-Ghazali menjelaskan secara detail mengenai pernyataan
para filusuf yang terkenal yaitu bahwa sumber pertama tidak terbagi dengan
pernyataan yang jelas sebagaimana juga tidak terbagi dalam kuantitas. Dan atas
dasar inilah para filusuf membangun
argumentasi keesaan Allah Swt menurut pandangan mereka. Dan bahkan mereka
mengatakan bahwa kepercayaan pada keesaan Tuhan (Tauhid) tidak sempurna kecuali dengan menegaskan keesaan Zat Allah
dari segala segi dan penegasan keesaan dengan menegasikan kemajemukan dari
segala segi. Oleh sebab ituah para filusuf mengingkari/menafikan adanya
keidentikan sifat-sifat Zat Allah Swt. Dalam masalah pandangan para filusuf
tentang negasi sifat-sifat Tuhan akan kita bahas pada bagian sub bab ke-dua.
KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP PARA FILUSUF YANG
MENGATAKAN BAHWA ALLAH TIDAK MEMPUNYAI SIFAT
Dalam
persoalan penegasian sifat-sifat Tuhan dalam pandangan para filusuf, mereka menoloak bahwa apabila menisbatkan
sifat-sifat Tuhan dengan Tuhan penamaan yaitu dengan sifat-sifat kepada sebab
pertama, Mereka juga mengatakan tidak boleh mengatributkan sifat-sifat-Nya pada
esensi kita, sehingga dikatakan “kami tahu” dan “kami mampu”. maka hal ini
dapat berimplikasi kemajemukan.
Maka
dari itu Al-Ghazali memberi pertanyaan kepada mereka, bagaimana anda me-nge-tahui
kemustahilan kemajemukan dari sisi ini, dan kalian me-nentang seluruh kaum
muslimin, kecuali mu’tazilah? Apa argumen anda dalam hal itu? Pernyataan
seseorang bahwa kemajemukan adalah mustahil pada wajib al-wujud, di samping esensi yang disifati itu satu,
berpangkal pada kemustahilan kemajemukan sifat-sifat, tetapi kemustahilan itu
tidak dapat langsung diketahui. Karena itu, diperlukan argumentasi. Dalam
menjawab persoalan ini, para filusuf membuktikan dengan melalui dua cara:
Pertama,
pernyataan mereka bahwa masing-masing dari sifat dan yang di sifati (maushuf), jika bukan ini adalah itu dan
itu adalah ini, maka maka bisa keduanya tidak saling membutuhkan, keduanya
saling membutuhkan, atau yang satu tidak membutuhkan yang lain sedangkan yang lain
membutuhkannya. Apabila di asumsikan bahwa masing-masing tidak saling
membutuhkan, maka keduanya yang niscaya ada (wajib
al wujud). Hal ini merupakan dualitas mutlak dan ini mustahil.
Apabial
keduanya saling membutuhkan, maka salah satunya tidak menjadi wajib al wujud, karena makna wajib al wujud adalah eksistensi yang
berdiri sendiri, dan dalam hal inipun ia tidak membutuhkan yang lain. Maka yang
stau lagi adalah sebabnya, karena kalau yang satu itu tidak ada, yang lainnya
tidak akan ada. Keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi membutuhkan yang
lain.
Sanggahan: yang pad ainti dari sanggahan Al-Ghazali adalah para
filusuf tidak ada sinkronisasi antara pertanyaan dengan jawaban. Ketidak
bagaimna hubungan antar sifat dan Zat dapat terjadi dualitas mutlak, bagaimna
argumentasinya dari hal tersebut. Akan tetapi para filusuf menjawabnya dengan
alternatif tentang penolokan kemajemukan
dalam masalah ini dan seterusnya.
Kedua,
pengetahuan yang berada
pada kemampuan bukanlah merupakan kuiditas esensi kita, tetapi keduanya
merupakan aksiden. Dan apabilan sifat-sifat in ada pada sebab yang utama, maka
ini pun juga tidak berada pada kuiditas esensinya, akan tetapi merupakan
aksiden bagi-Nya. Dan apa bila ia merupakan aksiden bagi-Nya dan keberadaannya
selalu mengikuti esensinya. Jika dia berada di luar esensi maka ia merupakan
akibat dan esensi merupakan penyebab baginya. Maka bagaimana bisa ia bisa
menjadi wajib al-wujud?
Kami
akan mencoba menyimpulkan dengan menganalisis Jawaban serta kritikan oleh
Al-Ghazali terhadap para filusuf tentang pertanyaan ini, walaupun kebenaran
dari penyimpulan ini tidak pasti. ada dua jawabab disertai dengan kritikan
terhadap pertanyaan yang dilontarkan kepada Al-Ghazali, yaitu pertama
apabila esensi merupakan suatu sebab aktif baginya dan sifat adalah
obyek bagi esensi, bukan seperti itu yang di maksud. Tetapi apabila yang anda
katakan bahwa esensi merupakan suatu tempat dan sifat membutuhkan tempat. Jadi,
mengapa hal seperti ini tidak?
Selanjutnya
para filusuf mempertanyakan lagi terkait dengan esensi sebagi tempat. Yaitu
apabila sifat membutuhkan tempat pada esensi, maka itu merupakan susunan, dan
setiap sususnan membutuhkan penyusun. Maka dari itu sebab pertama bukanlah
fisik, karena fisik adalah yang tersususun. Jawaban Al-Ghazali dengan lontaran
seperti itu adalah: azali tanpa sebab dan pencipta. Demikian pula dia diberikan
sifat keazalian, tetapi sebab bagi esensiNya, sifat-sifatNya, dan semua
bergantung pada sifatNya pada esensinya. Tetapi semuanya azali tanpa sebab.
Sesungguhnya
metode yang kalian pakai dalam problem ini menggunakan imajinatif belaka. Ini
adlah kritikan yang Al-Ghazali lontarkan kepada para filusuf.
Komentar