KONTROVERSI INTERPRETASI HAKEKAT
QURBAN
Oleh : Joko Riyanto
Istilah qurban tidaklah asing di
kalangan masyarakat modern. Di dalam ritual idul adha itu
apa yang biasa disebut udlhiyah, atau penyembelihan hewan qurban.
Qurban dalam arti etimologi Qurban berasal dari bahasa Arab
yang bermakna qurbah mendekatkan diri kepada kekuasaan
tertinggi/realitas tertinggi/sebab awal dari segala sesuatu yaitu Allah SWT
Tuhan yang Maha Esa. Kalau kita tinjau ulang dari persepektif historis, qurban sejatinya
tidaklah berawal dari Nabi Ibrahim yang menjalankan perintah Allah untuk
menyembelih anaknya yang bernama Ismail, akan tetapi qurban pertama kali di
laksanakan pada masa nabi adam, yaitu konflik antara Qobil dan Habil yang
memperebutkan calon istri. Pada masa itu percodohan tidaklah dibenarkan apabila
menikahi wanita yang kembarannya, Qobil yang di jodohkan dengan kembarannya
Habil yang bernama Labuda dan Habil yang di jodohkan dengan kembaranya Qobil
yang bernama Iqlima. Untuk mencari solusi pertingkaian tersebut Nabi Adam
menyuruh memberikan pengorbanan keduanya kepada Allah SWT. Akan tetapi karena
ketidak ikhlasan pengorbanan yang diberikan Qobil kepada Allah, sehingga Habil
tetap mendapatkan istri yang bernama Iqlima. Karena Labuda calon istri Qobil
tidaklah secantik calon istrinya Habil yaitu Iqlima. Maka dari Qobil merasa iri
(Hasud) dengan habil, sehingga qbilpun membunuh habil. Dalam riwayatnya
terdapat dalam Q.S. Al-Maidah (5) : 27-31.
Ritualitas qurban yang serupa juga
dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah angin topan mereda yang
melanda umatnya yang durhaka, mereka mengorbankan beberapa hewan yang langsung
di bakar di tempat pengorbanan. Kemudian ritual qurban berlanjut kepada Nabi
Ibrahim As, yang bermimpi diperintah
oelh Allah SWT untuk menyembelih Ismail. Kerena ketaatan nya Ismail, maka
dengan ikhlas ismail memerintah ayahnya untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah SWT. Akan tetapi karena motiv dari peristiwa tersebut
adalah untuk menguji ketakwaan Nabi Ibrahim dan Ismail, maka Allah
memerintahkan Ibrahim untuk mengganti Anaknya dengan seekor kambing.
Tidak hanya itu histori tentang
qurban, akan tetapi terdapat penyelewengan ritual didalam kaum jahiliyyah. M.
Hasbi ash-Shiddieqy berpendapat bahwa
tujuan penyembalihan pada masa itu ialah pertama,
untuk mendekatkan diri kepada benda yang dipuja. Hewan yang disembelih
dibakar, kemudian kulitnya deberikan kepada seorang kahin. Kedua, untuk meminta ampunan. Hewan sembelihan sebagian di bakar
dan sebagian diberikan untuk kahin. Ketiga,
untuk memohon keselamatan. Hewan sembelihan ini mereka makan. Penyembelihan
juga dimaksudkan untuk menghapus aib. Dan adapun jika mereka tidak mempu
mengurbankan hewan yang berkaki empat, maka mereka diperintahkan untuk membakar
buah-buahan di rumah-rumah ibadah mereka.
Kemudian karena Allah memilih Nabi
Muhammad Saw sebagi pencerah pada zaman jahillyah, maka tritual Qurban tersebut
di luruskan pada ajaran yang benar dan lurus bahwa pengorbana untuk
meningkatkan ketakwaan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di tetapkan dalam
Q.S. Al-Khautsar(108): 2 berbunyi “maka laksanakanlah salat untuk Tuhanmu, dan
berkurbanlah (untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT). Di terangkan juga dalam
sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzy, Ibnu Majah, dari
Aisyah, “tidaklah suatu amalan anak Adam di hari Nahar (hari penyembelihan
Qurban) yang lebih disukai Allah, selain daripada menyembelih Qurban. Qurban di
hari kiamat akan datang seperti di hari dia disembelih, dengan lengkap seluruh
anggota tubuhnya, bulunya, tanduk dan kukunya. Darah hewan qurban sebelumjatuh
ke tanah, terlebih dahulu singgah di suatu tempat yang disediakan Allah.
Karenanya bersenanglah dengan berqurban.”
Kemudian dalam persepektif penafsiran,
di dalamnya terdapat kontroversi (silang pendapat) interpretasi hakikat qurban.
Yaitu dialektika antara interpretasi otoritas teks (tekstualis) dengan
interpretasi spiritual exegesis (takwil). Kalau kita tinjau ulang mengenai
interpretasi teks, di dalamnya terdapat prinsip yang sebagai pondasi, yaitu pertama, prinsip otoritas teks (wahyu
otoritas kebenaran adalah Al-Qur’an dan al-Hadits). Kedua, prinsip bahwa kebenaran hanya ada di dalam teks. Sehingga
pengetahuan/pemahaman tentang realitas pun harus sejalan dengan teks. Ketiga, cenderung anti kritik, karena
berpegang kuat pada doktrin dengan dogma-dogma agama yang tidak berubah. Keempat, dalam pembacaan ini kemajuan
hanya akan dicapai malalui kembali kepada teks dasar. Kelima, pembacaan literalis-tekstual hanya mengakui satu kebenaran,
tidak menerima perbedaan dan pluralitas kebenaran.
Mari kita lihat model penafsiran
tektualis, seperti Ibnu Katsirb menjelaskan tentang hakikat qurban, yaitu
‘hendaklah kamu melaksanakan shalat wajib dan nafilah dengan ikhlas, menyembah
kepada-Nya yang Esa tiada sekutu baginya. Demikian pula dengan kurbanmu yaitu
sembelihlah kamu maka hendaklah engkau menyembelih dengan menyebut nama Allah
dengan tidak menyekutukannya dengan yang lain. Hal ini sebagaimana firmanNya”,
“katakanlah sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku, dan matiku hanyalah bagi
Allah Rabb sekalian Alam.” Dari sini jelaslah bahwa hakikat qurban adalah
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara berserah diri megikhlaskan
sebagian hartanya dengan berqurban menyembelih hewan sebagai aktualisasi
ketakwaannya. Jiwa spirit haruslah ditumbuhkan dalam hal ini, tidak boleh tidak
karena dalam berkurban tidak hanya untuk tujuan populeritas status sosial
semata. Akan tetapi dalam model interpretasi tekstual ini selalu melulu ke
dimensi teks, tidak pernah melihat bagaimana dimensi sosial yang diharapkan Allah
dalam berkurban. hasilnya metode ini hanya memperkaya pahala individual akan
tetapi tidak memperhatikan bagaimana menyeimbangkan kondisi sosial. Padahal
Islam sering disebut sebagai agama rohmatal lil ‘alaimin yaitu Rahmat bagi
seluruh alam. Maka dari itu Islam haruslah mengayomi sosial, menjaga
keseimbangan problem sosial kontemporer; seperti kemiskinan, pengangguran,
lemahnya pendidikan, dll.
Maka untuk menjawan semua probel
sosial tersebut, dalam tradisi islam juga emiliki metode penafsiran yang melihat
batiniah teks yang dalam filsafat Islam disebut spiritual exegesis (takwil),
kalau dalam bahasa sekarang akan kita temukan dengan istilah hermeunetik, yang
menghubungkan kesadaran manusia dengan obyeknya (teks dan fenomena). Seperti
gagasannya hasan hanafi yang telah memetakkan kesadaran manusia dalam
hubungannya dengan proses interpretasi teks. Dia berpendapat bahwa, kesadaran
yang harus terkandung dalam proses interpretasi adalah; pertama, kesadaran historis, yaitu kesadaran memahami sejarah untuk
menemukan otentisitas teks. Kedua, kesadaran
eidetis, yaitu kesadaran untuk memahami obyek berdasarkan proses sejarahuntuk
menemukan makna radik (terdalam) dan tujuan teks. Ketiga, kesadaran praksis, yaitu kesadaran untuk memformulasikan
makna esensial tersebut ke dalam forma baru yang lebih relevan dengan ritme
perkembangan zaman.
Mencermati ritual qurban semakin
mengukuhkan praduga bahwa kerangka teoritik tersebut belum sepenuhnya
dioperasionalisasi dalam memahami norma agama yang berkaitan dengan qurban.
Karena nampaknya ritualitas tersebut lebih didasari atas kepuasan psikologis
dari muqarib (orang yang berkurban), qurban hanya akan dipahami sebatas harapan
bahwa hewan sembelihan itu akan datang di akhirat kelak yang memudahkannya
memasuki pintu surga. Selain itu juga, tadapat muqarib yang hanya akan
bertujuan untuk populeritas staus sosial, agar di pandang bahwa dialah yang
kaya, dan dialah yang bertakwa kepada Allah. Dan yang terakhir terkadang
terdapat kesalah pahaman tentang qurban ini diartikan sebagai
pengorbanan/sesembahan kepada Allah, padahal kalau kita pahami kekuasaan Allah
tidak akan pernah hilang walaupun Manusia tidak takwa ataupun takwa kepadaNya,
ketakwaan hanyalah akan berimbas kepada diri manusia sendiri dan orang lain.
Lebih menariknya lagi, jikalau dalam
pemahaman interpretasi tekstual, hewan yang akan disembelih harus memenuhi kriteria
tertentu, disembelih pada waktu tertentu dan dagingnya didistribusikan pada
waktu tertentu pula. Dalam banyak kasus, karena keterbatasan waktu pembagian
dan kualitas daging segar, maka sejatinya daging tersebut diperuntukkan untuk
fakir miskin, justru dibagikan kepada berbagai kalangan yang sebenarnya tidak
layak menerimanya. Untuk kesekian kalinya norma agama tidak berhasil
membebaskan penganutnya dari belenggu kemiskinan. Mungkin inilah yang disebut
oleh Moeslim Abdurrahman sebagai “kemunkaran sosial”, yakni ketika agama hanya
dipahami untuk mencari kepuasan individual, sementara perhatian terhadap publik
menjadi terabaikan.
Merefleksikan ulang sejarah qurban pada masa
nabi Ibrahim terhadap Anaknya Ismail dengan metode interpretasi hermeunetik agar
menjadi sebuah diskursi baru dalam makna hakikat qurban. Ismail adalah anak
satu-satunya Ibrahim yang sudah lama bertahun-tahun menginginkan anak. Ismail yang sangat sangat ia sayangi dan
cintai. Lima tahun kemudian, ibrahim bermimpi diperintah oleh Allah untuk
menyembelih anaknya, betapa sedih dan tekanan batin yang mendalam. Karena
seoarang anak yang ia cintai akan disembelih dengan tangannya sendiri dan
disaksikan dengan mata kepala Ibrahim. Akan tetapi sekalilagi karena ketakwaan
kepada Allah mereka bermufakat dan akan menjalankan perintahNya. Akan tetapi di
akhir kisah, Ismail diganti seekor domba besar yang kemudian disembelih
Ibrahim. Lihat Q.S. Ash-Shaffat(37) :
100-111.
Makna subtantial yang dapat diperoleh
dari pemahaman terhadap konteks di atas adalah, pengorbanan yang di lakukan
oleh Nabi Ibrahim adalah mengorbankan sesuatu yang paling dicintai. Karena,
kalau Tuhan menghendaki pengorbanan pada zaman itu dengan binatang, seperti yang dilaksanakan
oleh umat Islam sekarang, Tuhan tidak mungkin memerintahkan Ismail untuk
dikorbankan dalam mimpi Ibrahim. Seekor domba yang besar hanyalah sebagai
badal, setelah kesetiaan dan cinta kasih ibrahim terhadap Tuhan teruji.
Kemudian kalau kita lihat dari kondisi sosial dan politik pada masa itu,
pemerintahan yang tirani (otoriter) dan kondisi sosialnya yang saling menindas,
tidak adanya saling menghormati dan rendahnya solidaritas. Maka dari itu kisah
penyembeihan terhadap nabi Ismail adalah bentuk kritik terhadap manusia bahwa
Allah tidak haus akan darah manusia. Dialah Tuhan yang ingin membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang
tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.
Dari
sini terlihat perbedaan yang sangat
krusial antara interpretasi teksualis dengan interpretasi spiritual exegesis
(takwil). Perbedaan ini tidaklah menyebabkan akan hilangnya hakikat dari qurban
itu sendiri, karena kurban kalau kita lihat dari perspektif tradisi ibadah dari
zamannya nabi Ibrahim sampai Nabi
Muhammad saw dan para pengikut beliau, maka ibadah secara ritualistik memang
haruslah dengan penyembelihan hewan sebagai simbolisasi ketakwaan hamba kepada
Allah Tuhan Yang Maha Esa. secara fikih qurban adalah ibadah maghdhah bukan
ghairumaghdhah. Sehingga dalam menginterpretasikan qurban haruslah memedulikan dimensi ukhrawi dan duniawi
secara sekaligus. Mementingkan salah satu dimensi berkonsekuensi serius pada
tercerabutnya fleksibilitas agama sehingga menjebak pelakunya pada dua perilaku
terlarang dalam beragama. Musya
Asy’ari pernah menjelaskan bahwa di dalam berkurban haruslah terdapat jiwa
spirit terhadap pengurbanannya, tidak hanya sebatas formalitas Agamis. Akan
tetapi melihat hikmah dibalik berkurban tersebut. Semangat berkurban haruslah
tetap ditanamkan di dalam jiwa seorang muslim.
Komentar