ISLAM DAN PEMBEBASAN

Ditinjau dari sistem sosial


A.    Nabi dan Misi Pembebasan atas sistem Sosial yang Menindas
Di dalam Islam ada sebuah keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir sebagai penutup para Nabi sebelum-sebelumnya. seperti Nabi Ibrahim As, Nabi Nuh As, Nabi Musa As dll. Dan disadari atau tidak kesemua nabi tersebut diutus oleh Allah adalah untuk menyebarkan ajaran kebaikan serta perlawan atas ketidak adilan dan pembodohan oleh raja-raja maupun yang berkuasa di atasnya.
Dapat dilihat dalam kisah-kisahnya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim dengan sebilah kapak datang ke kuil untuk menghancurkan berhala-berhala. Nabi Musa dengan tongkat dan ditemani oleh saudaranya yang dari gurun, datang kek kota dan mendeklarasikan perlawanan terhadap kekuasaan Fir’aun. Dengan memperjuangkan pembebasan kaum yahudi dari perbudakan, serta mengajak hijrah masyarakat adalah tahore nabi Musa. Dan kisah lain yaitu Nabi Isa berani enentang kekaisaran Romawi yang liar.[1]
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad, seseorang yang resah melihat kondisi masyarakatnya baik secara teologis maupun sistem sosial yang berlaku di daerah mekkah pada saat itu. Setelah mendapatkan wahyu yang pertama Q.S. Al-Alaq :1-5 yang oelh Amin Abdullah diartikan membaca disitu secara esensial dapat diartkan membaca realitas. Dengan semangat perubahan atas sistem sosial yang menindas Nabi Muhammad dengan cerdas atas bimbingan Allah SWT melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada awalnya, yang kemuidian setelah mendapatkan pembebnaran secara sosial dari umatnya mulailah Nabi mendakwahkan secara terang-terangan.
Jadi dapat diartikan bahwa Nabi-Nabi hadir ke dunia sebagai pembawa misi pembebasan ada dua hal: pertama misi pembebasan atas Tuhan-Tuhan Politeis untuk menyembah tuhan monoteis yang Esa yakni Allah SWT. Kedua misi pembebasan dari kekuasaan yang otoriter, semenang-menang, keserakahan penguasa dan saudagar yang menindas masyarakat.[2] Kedua aspek tersebut menandakan bahwa Nabi memiliki peran ganda yaitu membebaskan Manusia dari kesalahan Ketauhidan dan pembebasan atas sistem sosial yang menindas atau tidak adil.

B.     Islam dan Kaum Mustadh’afin
Islam diakui oleh umatnya adalah agama yang Rahmatan lil’alamin tidak serta merta rahmat itu akan datang sendiri jika tanpa ada suatu tindakan yang signifikan dalam kehidupan. Agar Islam menjadi agama sebagai Rahmat bagi dunia maka jalan yang ditempuh dengan melakukan perlawanan kepada penguasa yang dzalim, untuk  membebaskan masya-rakat dari eksploitasi dan jerat ketertindasan. Agar hal ini adalah agar terciptanya masyarakat yang berkeadilan sebagai sistem sosial yang dicita-citakan Islam.
Kuntowijoyo membagi keberpihakannya menjadi dua wilayah yaitu dhu’afa (orang kecil) dan Mustadh’afin (teraniaya). Kunto menafsirkan bahwa pemakaian istilah dhu’afa dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan kesenjangan natural atau kemiskinan. Dalam artian secara alamiah (sunatullah), misalnya miskin diakibatkan oelh wilayah tempat tinggal yang cenderung kering dan susah pengairan yang menyebabkan sulitnya bercocok tanam.
Sedangkan kata Mustadh’afin dipakai oleh Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa adanya kesenjangan struktural atau kesenjangan. Dalam artian dapat dikategorikan bahwa mereka tertindas diakibatkan oleh perilaku pihak penindas. Seperti misalnya, eksploitasi terhadap pasar dengan menerapkan harga tinggi atau misalnya pada masa kolonialisme, belanda memberikan prefensi pada pengusaha non pribumi di atas inlander yang muslim, sehingga membuat non pribumi memiliki akses keluar untuk meningkatkan dirinya.[3]
Melihat dari model keberpihakan yang dijelaskan oleh Kunto, maka umat Islam dalam mencapai sistem yang adil, maka pergerakannya perlawanannya melalui dua model tersebut. Dalam model pertama, Islam hadi dengan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat yang miskin alami agar masyarakat tersebut mampu tumbuh dan berkembang dengan sejahtera. Sedangkan untuk model kedua Islam harus hadir sebagai perlawanan dan perombakan sistem dan hukum yang sekiranya tidak berpihak terhadap masyarakat yang dirugikan, seperti mengadvokasi atauran-aturan dari pemerintah yang berkuasa, umat Islam masuk kedalam perumusan-perumusan hukum agar terciptanya hukum yangberpihak kemasyarakat. Karena yang nantinya akan berimplikasi untuk seluruh masyarakat.

C.    Sitem Sosial Profetik
Sudah barang tentu jika melihat akar sejarahnya maka sistem sosial yang dibangun di dala Islam berlandaskan atas AL-Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tidak mudah memang mengkostruksikan sebuah sistem sosial yang islami, namun hal ini tidak membuat pesimis para pemikir Islam. Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman sepertinya berhasil memformulasikan sebuah tawaran baru tentang bagaimana Islam mentrans-formasikan kedalam kehidupan sosial. Pengambilan sepirit dalam wahyu dan sunah nabi telah banyak dilakukan oleh pemikir-pemikir Islam seperti K.H Ahmad Dahlan yang hidup di era kolonialisme mengaplikasikan semangat Q.S. Al-Ma’un dan Al-Ashr mencoba menyantuni anak-nak yatim, memberdaya-kan masyarakat secara status sosial dan pendidikan serta kesehatan.
Begitu juga sebaliknya Kuntowijoyo yang hidup pada masa orde-baru yang mampu mengintegrasikan Khazanah Islam dengan teori-teori sosial modern baik dibidang sejarah maupun sosiologi disamping sastra dan budaya.[4] Dalam bukunya Paradigma Ilmu Sosial Profetik telah berhasil memformulasikannya dengan landasan Q.S. Ali-Imran :110. Yang artinya “Kamu sekalian adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan kepada umat manusia guna menyeru pada kebajikan dan mencegah kemungkaran serta beriman kepada Allah”. Dalam pandangan Kuntowijoyo tersebut maka terdapat tiga konsep kunci dari ayat tersebut. Yakni pertama  liberasi, kedua humanisasi dan ketiga transendensi.[5]
1.      Liberasi
Leberasi yang berarti adalah pembebasan, secara implisit mempertegas bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia baik menentukan nasib sendiri (self-determination) baik secara individu maupun kolektif. Kebebasan yang dimaksudkan disini bukan bebas sperti apa yang ada pada stigma kebebasan kaum eksistensialisme ateis jean paul sarte, melainkan bebas yang bernilai etis. Artinya tidak hanya sekedar kebebasan yang hanya sekedar refleksi filosofis namun kebebasan yang bernuansa praksis yang  menuntut agenda perubahan sosial dari ragam belenggu kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, marginali-sasi dan sebagainya.
2.      Humanisasi
Humanisasi adalah bagaimana memanusiakan manusia, artinya membebaskan manusia sesuai harkat dan martabat yang dianugerahkan Tuhan. Harkat dan martabat dapat dibangun melalui tindakan individual dan kolektif yang berpijak atas nilai-nilai kebajikan dan menghindari dari kemungkaran. Memberikan hak-hak manusia sebagai manusia, artinya disini terdapat sikap egalitarian terhadap sesama manusia. Ada beberapa sistem sosial yang masih memandang status sosial secara ekonomi, intelektualitas, jabatan, pekerjaan dan lain sebagainya.
Contoh kongkrit tindakan humanisasi ialah PCM Krembang yang menginterpretasikan bahwa orang yang termarginalkan adalah orang-orang yang termarginalkan secara sosial seperti pelacur. Dengan segala ide dan gagasan serta setrategi PCM Krembang dapat merealisasikannya, dimulai sejak tahun 2012-2013 yang tidak banyak diliput media.[6]
3.      Transendensi
Transendensi ialah konsep yang paling dasar dari ketiganya, yaitu mencangkup konsep leberasi dan transendensi. Artinya sistem sosial yang dibangun tidak bersifat liar atau bebas yang takternilai, melainkan ada hubungannya secara imanin secara rasionalitas nilainya. Gerak sosial yang berlandaaskan nilai-nilai profetik.




[1] Ari Susanto, Membumisasikan Gerakan Sosial Islam Progresif, (Yogyakarta: Semesta Ilmu, 2017) hlm. 69.
[2] Ibid,. Hlm. 70.
[3] Kuntowijoyo, Identitas Politik umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), lm. 7.
[4] Sutikno, sebuah artikel “Rekonstruksi Teologi Profetik” yang disampaikan dalam acara SCPI dimalang.
[5] Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), 88-89.
[6] Najib Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan, (Yogyakarta: Penerbit Mizan, 2016), hlm. 104.

Komentar