Post-Spiritualitas Agama

Sumber Gambar : http://www.nu.or.id/o-client/nu_or_id/pictures/post/big/150620426959c6da6ddc0c0.jpg


Post-Spiritualitas Agama
Oleh : Joko Riyanto, C.F.

Akhir-akhir ini saya dikejutkan dengan fenomena keagamaan yang termediasi oleh media online. Ya, wajah spritualitas seseorang sudah masuk kedalam ruang cyberspace, yang oleh Yasraf diartikan sebagai ruang tumbuh berkembangnya cyber-cemiotic. Tanda-tanda berterbangan di dalamnya. Pemahaman konvensional tentang makna spiritualitas yang dicapai dengan sebuah jalan kesunyian oleh para sufistik, kini dengan sangat mudah diakses dan diekspos ke dalam dunia cyber. Ruang cyberspace ini dapat dilihat di dalam sebuah media online yang diwujudkan kedalam bentuk berita-berita online sebagai citra, iklan-iklan komoditi yang berdiri di atas spirituallitas keagamaan (sebagai wujud kesolehan individu) yang ditawarkan olehnya, simbol-simbol dalam poster-poster (meme spiritualitas) dan film-film yang berbau keagamaan tanpa kandungan filosofis yang fundamental.
Kejutasn pertama, berita Anis Baswedan dan Sandiaga Uno dalam twitter yang sedang shalat berjamaah berdua. Bukan bermaksud su’udzon ataupun ada unsur ketidaksenangan terhadap pemimpin Jakarta sekarang. Melainkan muncul sebuah pertanyaan dalam benak fikiran saya, apakah sebuah keshalehan individu itu harus diekspos ke media yang sekiranya ukuran keshaleh adalah para publik maya. Bukankah itu ibadah yang hubungannya individu dengan Allah SWT yang harus dilandasi atas keikhlasan pada setiap diri manusia yang menjalankannya tanpa ada unsur riya’ di dalamnya. Sebagaimana terkandung di dalam Q.S. Al-Maa’un : 4-7 “Maka celakalah bagi orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Dalam pengertian sederhana riya’ adalah mencari muka, atau kedudukan di hati manusia dengan mempertunjukkan hal-hal yang baik.
Fenomena spiritualitas yang ditampilkan dalam berita-berita tersebut setidaknya tidak membuat masyarakat kedalam sebuah kesimpulan bahwa orang tersebut baik ataupun shaleh atau bahkan orang tersebut melakukan sebuah citra di dalam topeng-topeng tanda yang diproduksinya. Melainkan kita harus bersikap sabar atau tenang. Karna Allah bersama orang-orang yang sabar (Innallaha ma’ashabirin) dan percayalah bahwa ukuran sebuah keshalehan individu adalah Tuhan sendirilah yang menentukan. Kita sebagai manusia hanya berusaha semampu kita untuk menjalankan ibadah Maghdoh (shalat, puasa, zakat dll) tentunya dengan sebuah keikhlasan di dalamnya. Apapun nilai dari orang lain biarlah tetap meneggakkan jalan keshalehan di dalam hati dan jangan mencari eksistensi yang tidak perlu diumbar keranah publik karna hanya akan membawa sebuah interpretasi yang tidak-tidak. Jika seorang interpreter tersebut ada praduga (ideologi/pengetahuan/image) yang tidak sepaham sebelumnya maka hanya akan menghasilkan makna hujatan. Begitupun sebaliknya, jika praduga (seideologi/sepengetahuan/seimage) maka akan menghasilkan pujian-pujian. Namun, apakah itu tujuan sebuah ibadah indivudu kepada Allah SWT? Tidak perlu dijawab, melainkan mari tancapkan pertanyaan ini kedalan diri sendiri.
Nurkholis majid dalam bukunya Islam menyebutkan bahwa orang yang sholeh yaitu orang yang sholeh Individu dan Sholeh sosial. Dalam artian Mereka yang ibadah dengan sungguh-sungguh tanpa ada unsur riya’ maka dapat mentransformasikan nilai-nilai keshalehannya atau nilai-nilai pengalaman spiritualnya kedalam keshalehan Sosial. Jadi tidaklah perlu seorang muslim mengumbar atau mencari eksistensi dalam ibadah individu tersebut. Karena ibadah tersebut hubungannya hanya kepada Allah SAW, manusia yang menjalaninya dapat mewujudkan keshalehannya kedalam ibadah sosial yaitu menolong rakyat kecil, memberikan keadilan yang seharusnya, mensejahterakan rakyat, dan lebih tinggi lagi yaitu  membuat dirinya dan rakyat kepuncak kebahagiaan yang sejatinya bahagia. Demikianlah Islam yang Emansipatoris kedalam gerakan kemasyarakatan. Baik untuk para organisasi kemasyarakatan, politisi dan pemimpin-pemimpin rakyat tentunya.
Kejutan kedua, Iklan Damai Islamic Living Yogyakarta. Ya.. itulah tawaran iklan yang ditujukan kepada para Muslim yang mencari sebuah kehidupan syar’i jauh dari kehidupan yang penuh kemaksiatan (katanya). Melihat respon masyarakat di dalam iklan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa iklan tersebut sukses telah merenggut hati manusia yang haus akan sebuah spiritualitas. Namun apalah dayaku sebagai sebuah pujangga yang hanya hidup dijalanan yang tidak dapat mengakes atapun bahkan menginvestasikan untuk sebuah perumahan Syar’i yang dikatakan di dalam iklan tersebuat bahwa programnya didukung penuh oleh ustadz-ustadz ternama dan pemerintah kabupaten Sleman, yogyakarta. Bukan bermaksud tidak percaya melainkan jika dikaji menggunakan sebuah analisis semiotik terhadap iklan tersebut maka Islam yang di dalamnya terdapat sebuah spirtualitas pada diri Muslim yang memeluknya dapat terbuai oleh simbol-simbol yang ditawarkan olehnya. Seperti 100% syar’i. Apakah sebuah kesyar’ian itu dapat diukur oleh manusia yang memiliki akal yang terbatas dalam sebuah pengkonsepan. Apalagi wujud dari kehidupan Islami tersebut belum sepenuhnya terwujud, sudah mengatakan 100% syar’i. Dan dapat membawa manusia masuk kedalam surga. Apakah penentuan surga itu ditentukan oleh manusia?
Dalam kajian semiotik terdapat tanda dan penanda, bahwa tanda yang dihadirkan lewat kalimat maupun gambar/animasi tidak terlepas dari sebuah realitanya. Yaa.. begitulah sebuah iklan yang tidak terlepas dari bujuk rayuan dengan kalimat-kalimat yang di dalamnya terkandung makna spiritualitas yang dihadirkan lewat tanda-tanda dalam iklan Damai Islamic Living. Tidak bermaksud su’udzon melainkan kita harus sadar betul bahwa kita hidup di Indonesia, Indonesia yang multikultural. Namun, Damai Islamic Living tersebut membawa sebuah kehidupan islamic yang bernuansa Arabic. Terbukti menafsirkan teks ayat al-quran yang tektualis sebagai berikut “sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (baitullah) yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (Q.S. Ali Imron: 96). Tidak mencoba menyalahkan, namun bagaimana kelak sistem pengetahuan yang dibangun di dalamnya ketika bertabrakan dengan kultur yogyakarta yang masih kental dengan budaya lokal wisdom. Tanda-tanda tersebut melampaui batas tanda yang semestinya. Secara tidak langsung para pegiat spiritualitas mencoba dihadirkan sebuah kebudayaan yang total dari Mekkah. Padahal kita harus sadar betul kita hidup di dalam sebuah multikultural. Kita harus memahami mana Islam Tuhan dan mana Islam manusia (konsep keislam dalam buku Haidar Baqir).
Seperti yang dikritik oleh Jean Baubrilliard bahwa ruang cyberspace menjadi ruang dimana komoditi berkembang di balik sebuah tanda-tanda yang dihasilkannya. Realitas menjadi kabur di dalamnya sehingga menjadi sebuah hiper-realitas. Artinya realitas yang konkrit terlampaui oleh ruang cyberspace. Hasrat-hasrat spiritualitas direproduksi ke dalam mesin produksi hasrat sehingga  dalam sebuah tanda-tanda tanpa batas tersebut agar manusia selalu dan selalu mengkonsumsinya. Inilah yang dikatakan oleh Yasraf Amir Piliang sebagai Konsumerisme agama (mengkonsumsi spiritualitas agama dalam media) artinya bahwa manusia hanya memaknai sebuah spiritualitas dalam permukaannya saja. Antara yang sakral dan profan menjadi bercampur aduk ketika sudah masuk kedalam ruang cyberspace berwujud iklan. Hal ini terbukti mahalnya investasi dan harga perumahan yang sudah dibangun. Bagamaimana orang-orang miskin yang juga ingin belajar Islam? Bagaimana kelak masyarakat Damai Living dapat membebaskan kemiskinan yang melanda masyarakat Indonesia khususnya Yogyakarta? Apakah perumahan tersebut sepenuhnya tidak mengalami kontraversial dengan masyarakat disekelilingnya?
Semoga kita sadar akan sebuah spiritrualitas dalam Islam. Dalam artian bahwa di manapun kita berada belajarlah dari kehidupan sekeliling kita. Tidak perlu di dalam perumahan mewah ataupun sistem kehidupan Islami yang belum tentu Islami. Hidup ini tidak ada sebuah kepastian, hidup ini berubah, maka yang pasti dan tidak berubah itulah sebuah kepastian. Jalan menuju Kebenaran yaitu mengenal nafs yang ada di dalam diri. Bagitulah seorang sufistik mengartikan sebuah hadis yang berbunyi “barang siapa yang mengenal nafsnya maka akan mengenal Tuhan”. Maka kenalilah sejatinya pada diri sendiri. Jangan sampai kita hanya sebatas mengkonsumsi simbol-simbol spiritualitas yang dihadirkan lewat iklan-iklan komoditi.

Keberagamaan seseorang haruslah komprehensif yang atinya kita harus melihat segala aspek yang melingkupinya. Semisal, jika ingin membangun sebuah perumahan yang bersasis islami harus melihat bagaimana aspek ekologi, aspek hukum, aspek sosial, dan aspek budaya setempat dimana kita tinggal. Demikianlah dasar keilmuan integrasi-interkoneksi yang sejatinya dari semua aspek kehidupan memiliki unsur-unsur yang integral dan interkoneksi  antara satu dengan yang lainnya. Dan semoga saja dengan hadirnya konsep Damai Islamic Living di Ngaklik, Dehalal Mart, Jalan Kaliurang KM. 9, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta tersebut tidak hanya sebatas topeng para investor yang mengatas namakan spritualitas keagamaan. Melainkan akan menjadi tempat atau bahkan pusat kajian ke-Islaman kontemporer. Terkhusus untuk para pemodal sendiri tidak hanya sekedar menginvestasikan hartanya dan membuat konsep yang hanya menguntungkan sepihak. Melainkan harus mampu membuat suasana yang damai, tentram, bahagia dan sejahtera. sedangkan untuk para consumer semoga hidup di dalamnya menjadi lebih baik, sadar, bebas, dan bermoral. Begitulah celotehan sang pujanggga yang hanya hidup di pinggiran jalan mencari sebuah kebenaran.

Komentar