LEMBAH PENDEWASAAN


Oleh : Joko Riyanto


Apa lagi yang dapat dituliskan oleh sang fajar. Ketika ia sedang tidur terlentang menatap langit-langit malam, datanglah sosok yang berpakaian compang-camping layaknya orang yang tak mengenal etika berpakaian ala modern. Wajahnya sangat tidak menjanjikan jika dia sedang berada pada keraiaman kehidupan hedonis ala jaman now. Tubuhnya gendut seperti badut yang ketika diliyat oleh anak-anak, mereka akan tertawa. Namun ketika diliyat oleh istrinya, hanya tatapan sinis yang setiap hari dia dapati di rumahnya. Akan tetapi aneh bagiku, kenapa dia sampai sekarang tetap bisa hidup dengan kebahagiaan bersama istrinya dan anak-anaknya. Serta perekonomian yang menurutku tidak lebih dari standar perekonomian tetangganya, akan tetapi keluarganya fun-fun saja tidak ada yang tersakiti satu sama lain, malah mereka saling bergembira tanpa memikirkan itu semua. Apa sebenarnya dia jalani selama ini?

Aih, pikiranku melayang-layang kemana-mana, tak ubahnya angin ribun yang menghantam segala penjuru yang dia lewati. Ketika pikiranku mulai memuncak ditepuk bahu kananku oleh lelaki itu.

“hei, sedang apa gerangan di malam hari seperti ini kok melamun?”

“tidak apa-apa kok pak, hanya sekedar merefleksikan diri ke dalam pengalaman hidupku pak” ujarku pada lelaki itu.

Ketika jiwa dan pikiranku sedang berterbangan melihat noumenaku dalam kehidupanku, langsung melesat menuju ragaku yang sektika kaget mendapat sapaan dari lelaki itu. Lelaki tua yang berpakaian compang-camping itu bernama Kierkegaard. Selain dia seorang laki-laki yang bercompang-camping, dia juga sebenarnya jago dalam hal mendekonstruksi pengalamannya dan menuaikan pengalaman kedalam bentuk karya ilmiah dan sastra yang sedikit banyak aku sudah membacanya. Mungkin itulah yang membuat hidupnya menjadi lebih sejahtera dan berdaulat tanpa menjadi copy paste manusia-manusia lainnya yang terjebak pada arus kemajuan hingga hilang kesadarannya menjadi manusia. Maka timbullah kesadar palsu dalam diri manusia yang hanya menjadi objek dalam kehidupannya.

Pikirku, dari pada aku hanya menginteprestasi karyanya, alangkah lebih baik aku menanyakan maksud dan tujuan dari pemikirannya itu. Agar aku juga dapat mebangun kedaulatan hidup ini.

Tanyaku pada guru “maaf guru, apakah berdauluat itu adalah konsep manusia otentik itu sendiri?”

“Kamu bertanya seperti itu, apakah kamu benar-benar sudah siap untuk mendengarkan dan menjalani hidup penuh ketegangan-ketegangan yang akan menguras habis tenaga, pikirab serta hatimu” jawabnya dengan sedikit senyum yang menggelitikku.

“sebentar guru, biarkan aku bertanya pada kedirianku, apakah sudah siap”

Langsung saja aku memejamkan mataku dan memfokuskan pada diriku sendiri, semestaku berhambur-hamburan. Terlihat bintang-bintang mulai kacau, nampak layar LCD menampilkan segala macam ketergantungan hidupku dalam pengalamnku. Lalu nampak setitik cahaya datang padaku dan masuk ke dalam kedirianku.

“Guru, mungkin sekarang aku belum siap. Karena aku masih belum memiliki wadah kedirian yang akan berdaulat dalam hidup ini, akan tetapi yang berdaulat seperti apa? Sampai sekarang pun aku belum memahami”

“Baiklah, pujangga yang belum siap akan kedaulatanmu. Aku hanya ingin berpesan perjuangkan apa yang menjadi prioritas hidupmu, nikmati hal-hal estetis sampai kau merasa jenuh dan akan bermuara pada kehidupan etismu. Setelah itu, setelah kamu bosan dan jenuh dengan kehiodupan etismu, maka kamu akan mengenal, mengetahui dan mengerti kehidupan teistikmu dan itu bukan berasal dariku atau dari orang lain. melainkan dari dirimu sendiri”

“hanya itu sajakah guru” kataku dengan terpana melihat sosok guru yang tadinya compang-camping terlihat karismatiknya yang begitu dahsat tak pernah aku lihat sebelumnya.

“jangan meremehkan kehidupan ini, wahai pujangga. Hargailah setiap sekon perjuanganmu, tidak ada hal yang sia-sia selama kamu berpegagn teguh atas dirimu yang tidak pernah lelah. Percayalah pada kekuatan sesuatu di dalam dirimu, kekuatan yang terus bergulung-gulung itu”

“baiklah, aku akan bangkit dan perjuangkan itu semua. Guru, do’akan aku”

Lalu, lelaki yang aku anggap sebagai guru itu telah pamit dan mengucapkan “selamat memperjuangkan kedaulatanmu di lembah kedewasaanmu menuju sesuatu yang belum pernah kamu sadari selama ini”. Tak sadar, tak dikenali, tak dimengerti, apa lagi tu. Weslah, dari pada aku pusing memeikirkan itu semua, alangkah lebih baik aku menuangkan langkah kongkritku pada kertas putih yang selalu menjadi teman seperjuanganku.

To be continue.......

Komentar